Martens dan rekannya mendapati bahwa prilaku kesehatan yang buruk --terutama kurang gerak secara fisik-- sangat menjelaskan mengapa pasien yang mengalami depresi mengakibatkan kondisi yang lebih buruk. Karena kecemasan berkaitan erat dengan depresi, para peneliti memutuskan untuk meneliti apakah kecemasan secara umum juga memberi hasil berupa gangguan. Analisis mereka meliputi 1.015 pasien, 106 di antara mereka memiliki gangguan kecemasan umum. Semuanya memiliki sakit jantung dan pembuluh darah yang stabil, yang berarti mereka memiliki bukti mengenai alirah darah yang buruk di jantung mereka, tapi penyakit mereka tak bertambah parah. Selama masa enam tahun, 371 peserta studi mengalami sakit jantung dan pembuluh darah, serangan jantung, stroke gagal jantung atau bahkan kematian. Hampir 10 persen peserta yang memiliki gangguan kecemasan umum mengalami peristiwa yang berkaitan dengan jantung dalam waktu satu tahun, dibandingkan dengan sebanyak tujuh persen mereka yang tak memiliki gangguan. Setelah para peneliti itu memperhitungkan puluhan faktor yang mungkin menjelaskan mengapa pasien yang cemas menghadapi resiko lebih besar, seperti depresi, kegiatan fisik, apakah --atau tidak-- mereka mengonsumsi obat yang diresepkan, dan radang, hubungan tersebut masih tetap ada, dan gangguan kecemasan meningkatkan resiko sampai 74 persen. Di dalam dokumen hasil penelitian mereka di Archives of General Psychiatry, Martens dan timnya mengusulkan sedikit penjelasan yang mungkin bagi kaitan itu; peningkatan hormon "perkelahian-atau-terbang" akibat kecemasan mungkin menjadi salah satu faktor, kata mereka, meskipun pasien yang cemas juga mungkin saja kurang mencari perawatan pencegahan. Untuk saat ini, kata Martens, keberadaan gangguan kecemasan pada pasien sakit jantung dapat digunakan untuk mengingatkan mereka yang menghadapi resiko sangat tinggi. "Evaluasi dan pengobatan kecemasan juga mungkin dipertimbangkan sebagai bagian dari penanganan menyeluruh semua pasien `coronary heart disease` (CHD)," tambahnya. "Gangguan kecemasan umum terjadi dan dapat diobati serta dapat menjadi faktor resiko yang dapat diubah pada pasien CHD (sakit jantung koroner)."(C003/A024)
Sumber: Antara, Sabtu, 10 Juli 2010
Comments :
Post a Comment